Pengantar Sejarah al-Qur'an
Oleh Muhammad Rais Ramli
A. Pendahuluan
Pembahasan tentang sejarah al-Quran sangatlah luas. Oleh karena itu, penulis
membatasinya pada 4 hal saja yang berkaitan dengan sejarah al-Quran ini.
Keempat sejarah al-Qur'an yang dimaksud itu adalah pertama, sejarah
penamaan al-Qur,an. Kedua, sejarah diturunkannya al-Qur'an. Ketiga,
sejarah penulisan dan pembukuan al-Qur'an. Keempat, sejarah tanda baca
al-Qur'an.
B. Sejarah Penamaan al-Qur'an.
Para ulama berbeda pendapat tentang asal-usul dari kata
"al-Qur'an". pada umumnya mereka berpendapat bahwa kata
"al-Qur'an" berasal dari kataقَرَأ – يَقْرَأُ َ
'membaca', 'mengumpulkan' dan 'menghimpun'; mashdar-nya adalah قِرَاءَةٌ وَ قُرْآنٌ
'menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapi'. Makna di atas dapat dilihat pada Q.S. al-Qiyamah (75):
17-18,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ{17} فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ{18}
"Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (dalam dadamu). Dan (membuatmu pandai) membacanya.
Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya."
Q.S. al-Waqi'ah (56): 77,
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
"Sesungguhnya al-Qur'an ini adalah bacaan yang
mulia"
Q.S. Yasin
(36): 69,
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا
يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
"Dan Kami tidak mengajarkan sya'ir kepadanya
(Muhammad). Dan bersya'ir itu tidak layak baginya. Al-Qur'an itu tidak lain
hanyalah peringatan dan bacaan yang terang."[1]
Ada juga yang mengatakan bahwa kata "al-Qur'an" berasal dari kata
qara-in قَرَائِنُ
yang mufrad-nya adalah قَرِيْنَةٌ 'indikator'.
Dinamai demikian karena al-Qur'an secara internal (dalam teksnya) terdapat indikator-indikator
(kecendrungan atau tanda) persamaan dan saling membenarkan antara antara satu
ayat dengan ayat lainnya.[2]
Pendapat
lain mengatakan bahwa kata "al-Qur'an" berasal dari kata القرء و القري 'menggabungkan'
dan 'kumpulan' atau 'himpunan' atau 'kampung'. Disebut demikian karena
al-Qur'an merupakan kumpulan dari berbagai surat dan ayat. Ia menjadi satu kesatuan
yang utuh dan menyeluruh. Antara satu surat dan ayat yang lain saling terkait
dan saling memiliki ketergantungan sebagaimana diibaratkan dengan sebuah
kampung yang di dalamnya terdiri dari rumah-rumah dan anggota keluarga di
dalamnya yang saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.[3]
Akan
tetapi, ternyata ulama juga berbeda pendapat tentang penamaan al-Qur'an itu.
Menurut Imam asy-Syafi'i (150 H – 204 H/ 767 – 820 M), al-Farra' (w. 207 H/ 823
M), dan al-Asy'ari (260 – 324 H/ 873 – 935M) kata al-Qur'an dibaca tanpa hamzah
.{القُرَانُ}[4]
Adapun
ulama yang lain seperti al-Lihyani (w. 215 H/ 831 M) az-Zajjaj (w. 311 H/ 928
M) berpendapat bahwa kata "al-Qur'an" ditulis dan dibaca dengan
hamzah {القُرْأنُ}.
Az-Zajjaj lebih lanjut mengatakan bahwa kata "Qur'an" sepadan (wazan)
dengan فُعْلَانٌ
, bagi yang membaca القُرَانُ (tanpa hamzah)
semata-mata untuk memudahkan bacaan {لِلتَّخْفِيْفِ},
yaitu dengan mengalihkan harakat fathah pada hamzah kepada ra' yang berharakat
sukun.[5]
Adapun
definisi al-Qur'an secara terminologis atau istilah penulis ambilkan dari dua
ulama berikut, pertama, Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa,
القرآن هو كلام الله المعجز المنزل
على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة الأمين جبريل عليه السلام المكتوب في المصاحف
المنقول إلينا بالتّواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختتم بسورة
النّاس.[6]
Kedua, Afif Abdul Fattah Thabbarah mengemukakan definisi
al-Qur'an sebagai berikut,
القرآن هو الوحي المنزل من عند الله
إلى رسوله محمد بن عبد الله خاتم الأنبياء المنقول منه بالتواتر لفظا ومعنى وهو
آخر الكتب السّماويّة نزلا.[7]
C. Sejarah Turunnya al-Qur'an
Terdapat
beberapa pendapat tentang proses turunnya al-Qur'an. Pertama, al-Qur'an
diturunkan sekaligus ke al-Lauh al-Mahfuz, sebagaimana Q.S. al-Buruj
(85): 21-22,
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ # فِي
لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
"Bahkan (yang didustakan mereka itu) ialah al-Qur'an
yang mulia. Yang tersimpan di al-Lauh al-Mahfuzh".
Kedua, al-Qur'an diturunkan dari al-Lauh al-Mahfuzh ke
langit dunia. Kemudian, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara
berangsur-angsur selama 23 tahun sebagaimana Q.S al-baqarah (2): 185,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"Bulan Ramadhan bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)"[8]
Senada dengan di atas, Al-Zarqani berpendapat bahwa sejarah turunnya al-Qur'an
terdiri atas 3 tahap. Tahap pertama, turunnya al-Qur'an ke al-Lauh
al-Mahfuzh. Tahap kedua, dari al-Lauh al-Mahfuzh ke Bait
al-Izzah. Ketiga, dari Bait al-Izzah kepada Nabi Muhammad saw.[9]
Akan tetapi, kedua pendapat ini ditentang oleh Subhi
as-Shalih. Ia mengatakan bahwa turunnya al-Qur'an seperti di atas termasuk
hal-hal yang ghaib yang hanya bisa diterima dengan keyakinan kepada Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya.[10]
Adapun
turunnya al-Qur'an dari al-Lauh al-Mahfuzh ke Nabi Muhammad saw dibagi
ke dalam tiga periode,[11] yaitu pertama,
sejak pertama kalinya diturunkan surat al-'alaq:1-5 atau sejak pertama kalinya
Beliau saw diangkat menjadi Rasul Allah. Periode ini berlangsung 4-5 tahun.[12]
Setelah turunnya QS 74: 1-2 wahyu yang turun berkisar 3
hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah untuk membentuk kepribadian. Kedua,
pengetahuan-pengetahuan dasar tentang sifat-sifat Allah. Ketiga,
keterangan tentang dasar-dasar akhlak Islam dan bantahan-bantahan secara umum
tentang pandangan hidup masyarakat jahiliyah saat itu.[13]
Periode kedua, 8-9 tahun berikutnya. Pada masa ini
terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dengan masyarakat jahiliyah.
Pada masa ini ayat-ayat yang turun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban prinsip
seorang muslim seperti Q.S. 16: 125. Terdapat juga ayat-ayat tentang kecaman
dan ancaman kepada orang-orang musyrik yang berpaling dari kebenaran seperti
Q.S. 41:13. Terdapat juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi tentang keesaan
Allah dan kepastian datangnya hari kiamat berdasarkan tanda-tandanya seperti
Q.S. 36:78-82.[14]
Periode ketiga, pada periode ini kaum muslimin
dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan leluasa di Yatsrib yang kemudian
disebut al-Madinah an-Nabawiah atau al-Madinah al-Munawwarah.
Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Pada periode ini timbul berbagai
peristiwa dan masalah seperti prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam
masyarakat untuk mencapai kebahagiaan? Bagaimana sikap terhadap orang-orang
munafik, Ahl al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain. Yang semuanya
diterangkan dalam al-Qur'an dengan cara yang berbeda-beda. Lihat misalnya, Q.S.
9: 13-14 yang membangkitkan semangat; Q.S. 5: 90-91 yang menerangkan
perintah-perintah yang tegas; Q.S. 24: 27 yang menjelaskan tentang adab; Q.S.
3: 139:140 yang membangkitkan semangat kaum muslimin ketika ada 70 korban dari
pihak kaum muslimin pada perang Uhud; Q.S. 3: 64 yang mengajak orang-orang
munafik, Ahl al-Kitab, dan orang-orang musyrik kepada jalan yang benar.[15]
Mayoritas ulama membagi periode turunnya al-Qur'an ke
dalam dua bagian yang dikenal dengan periode Makkah atau Makkiyah dan
periode Madinah atau Madaniyah. Periode Makkiyah adalah turunnya
ayat-ayat al-Qur'an ketika beliau masih tinggal di Makkah selama 12 tahun 5
bulan dan 13 hari dihitung sejak 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran beliau
sampai permulaa Rabi'ul Awwal tahun ke-54 dari kelahiran Nabi saw.
periode Madaniyah adalah turunnya ayat-ayat al-Qur'an ketika nabi saw
hijrah ke Madinah selama 9 tahun, 9 bulan, dan 9 hari terhjitung sejak
permulaan Rabi'ul Awwal tahun 54 dari kelahiran beliau sampai 9 Zulhijjah tahun
63 dari kelahiran Nabi saw atau tahun ke-10 Hijrah.[16]
D. Sejarah Penulisan dan Pembukuan al-Qur'an
Sejarah
penulisan al-Qur'an dibagi ke dalam tiga periode. Periode pertama, pada
masa Nabi saw, penulisan dilakukan ketika wahyu diturunkan dengan
menyusun urutan ayat-ayat dalam dalam surat-surat tertentu sesuai dengan
petunjuk Nabi saw. ayat-ayat al-Qur'an tersebut ditulis secara terpisah-pisah
pada kepingan-kepingan, tulang belulang, pelepah kurma, batu-batuan, dan
lain-lain. Periode kedua, pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dengan
menyalin kembali tulisan-tulisan al-Qur'an tersebut menjadi sebuah mushaf yang
tertib surah-surahnya ditulis menurut urutan turunnya wahyu. Periode ketiga,
pada masa Utsman bin Affan.
1.
Penulisan al-Qur'an Pada Masa Nabi Muhammad saw.
Penulisan al-Qur'an pada masa Nabi saw dilakukan oleh beberapa sahabat di
antaranya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka'ab, dan Tsabit bin Qais. Mereka langsung ditunjuk
oleh Nabi saw untuk penulisan al-Qur'an tersebut. Alat-alat yang digunakan untuk
menulis masih sangat sederhana. Demikian pula tempat mereka menuliskan
al-Qur'an. Penulisan al-Qur'an dilakukan pada 'usub (pelepah kurma)[17], likhaf
(batu tulis warna putih),[18] riqa' (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari
kayu yang biasa dipasang di punggung unta).[19]
Dalam
rangka menjaga keotentikan al-Qur'an, Nabi saw melarang para sahabat menulis
selain al-Qur'an. hal itu dapat diketahui dari hadis riwayat Muslim dari Abi
Sa'id al-khudri, Rasulullah saw bersabda,
لاَ تكتبوا عني غير القرآن ومن كتب
عنّي غير القرآن فليمحه.[20]
2.
Penulisan dan Pengumpulan al-Qur'an Pada Masa Abu Bakar ash-Shiddiq
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penulisan al-Qur'an sudah dimulai
pada masa Nabi saw, tetapi masih berserakan di berbagai tempat dan benda-benda
lainnya. Ketika Abu bakar ash-Shiddiq menjadi khalifah, beliau melibatkan
banyak sahabat penghafal al-Qur'an untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab.
Terjadilah perang Yamamah pada tahun 12 H yang menggugurkan 70 orang sahabat
penghafal al-Qur'an bahkan ada yang mengatakan sampai 500 orang sahabat
penghafal al-Qur'an.[21] Sebelum perang
Yamamah, telah terjadi suatu peperangan di masa Nabi saw di Sumur Ma'unah
dekat kota Madinah yang juga menggugurkan hampir 70 orang sahabat penghafal
al-Qur'an.[22]
Peristiwa di atas menjadikan Umar bin Khattab khawatir akan keberlangsungan
al-Qur'an. Ia pun mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan al-Qur'an
dalam satu mushaf. Awalnya Abu Bakar ragu terhadap ide Umar ini, tetapi beliau
kemudian menerima ide tersebut setelah mempertimbangkan manfaatnya. Abu Bakar
pun memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menuliskan
ayat-ayat al-Qur'an dalam satu mushaf.[23]
Zaid pun melakukan tugasnya untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang masih
tercecer tersebut pada daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau
kambing, dan dari para sahabat yang hafal al-Qur'an.[24]
Pada
masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar
itu disalin lagi ke dalam lembaran-lembaran (shahifah). Setelah
penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada istri Rasulullah saw yang
bernama Hafshah yang dikenal pandai membaca dan menulis.[25]
3.
Penulisan dan Pembukuan al-Qur'an Pada Masa Ustman bin 'Affan
Pada
masa Usman bin Affan, pemerintahan Islam tersebar luas sampai Armeni dan
Azarbaiyan diu sebelah timur sampai Tripoli di sebelah barat. Dengan dewmikian,
kaum muslimin tersebar ke Mesir, Syiria, Irak, Persia, dan Afrika.[26]
Dengan
tersebarnya Islam ke luar jazirah Arab, maka muncullah permasalahan yang
berkaitan dengan al-Qur'an. kaum muslimin memegang al-Qur'an yang berbeda-beda
susunan surat-suratnya. Demikian pula dengan cara membaca, mereka terpengaruh
oleh dialek masing-masing suku atau kabilah. Bahkan, tidak jarang terjadi satu
kaum meremehkan bacaan orang lain dan merasa bacaannya yang dianggap paling
benar sehingga menimbulkan "perang urat saraf" di antara sesama kaum
muslimin.
Ketika
Usman bin Affan melihat fenomena ini, ia pun bertekad untuk menyatukan kaum
muslimin dengan membentuk tim untuk menghimpun al-Qur'an menjadi satu macam
dialek saja dan dengan susunan surat-surat yang sama. Tim tersebut terdiri Zaid
bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash, dan Abdur Rahman
bin Harits bin Hisyam. Dalam penyusunan mushaf al-Qur'an ini, tim berpedoman
pada bacaan mereka yang hafal al-Qur'an dan mengikuti dialek Suku Quraisy
karena al-Qur'an diturunkan menurut dialek suku ini.[27]
al-Qur'an yang
dibukukan ini dinamakan al-Mushaf. Ada lima buah yang ditulis. Empat buah
dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah, dan Kufah supaya di tempat-tempat itu
mushaf-mushaf tersebut diperbanyak lagi. Usman sendiri menyimpan satu mushaf di
Madinah dan dinamakan Mushaf al-Imam. Seluruh tulisan-tulisan al-Qur'an yang
ditulis sebelum pembukuan ini diperintahkan untuk dibakar.[28]
Adapun
manfaat yang didapatkan dengan "terbitnya" Mushaf Ustmani ini adalah,
pertama, kaum muslimin bersatu dengan satu mushaf yang seragam
ejaan dan tulisannya; kedua, kaum muslimin bersatu dalam keseragaman
bacaan, walaupun masih ada sedikit perbedaan, tetapi tetap tidak keluar dari
Mushaf Usmani; ketiga, susunan surat-surat al-Qur'an menjadi seragam
sebagaimana tertib urutannya seperti sekarang ini.[29]
E. Sejarah Tanda Baca al-Qur'an.
Buku-buku acuan
yang membahas masalah ini masih sangat sedikit. Di antara buku-buku tersebut
adalah Seni kaligrafi Islam oleh D sirajuddin AR dan Kaligrafi Islam oleh Yasin
Hamid Safadi.
Kalau
diperhatikan al-Qur'an cetakan Saudi Arabia, maka akan terlihat tulisan-tulisan
yang sangat indah dan jelas. Tulisan-tulisan al-Qur'an itu sebenarnya hasil
"evolusi" dari tulisan-tulisan al-Qur'an yang dulunya sangat
sederhana. Pada zaman Nabi Muhammad saw, tulisan-tulisan al-Qur'an itu belum
diberi tanda baca, baik berupa harakat maupun tanda-tanda titik.
Pada
saat Usman bin Affan membukukan al-Qur'an dan mengirimkannya ke berbagai daerah
seperti Kufah, basrah, Masdinah, dll, tulisan-tulisan al-Qur'a, itupun belum
juga dilengkapi dengan syakal-syakal dan tanda-tanda titik. Hal ini berlangsung
sekitar 40 tahun lamanya.[30]
Setelah
al-Qur'an sudah tersebar luas ke luar jazirah Arab seiring dengan berkembangnya
Islam saat itu, maka muncullah persoalan berupa terjadinya kesalahan baca
al-Qur'an dari orang-orang Muslim non-Arab yang memang tidak tahu bahasa Arab.
Beberapa contoh kesalahan baca tersebut adalah,
1. Pembacaan kata "warasulihi" oleh orang badui yang
seharusnya dibaca "warasuluhu",
إِنَّ اللهَ بَرِئٌ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik"
Apabila dibaca warasulihi maka artinya "Sesungguhnya Allah
berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya". Kalimat ini
tentu mustahil terjadi karena tidak mungkin Allah berlepas diri kepada
Rasul-Nya.[31]
2. Pembacaan "al-ulama-a" yang seharusnya dibaca "al-ulama-u"
seperti di bawah ini,
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعَلَمَاءُ
"Tiada lain yang takut kepada Allah hanyalah
sebagian dari hamba-hamba-Nya yang ulama". Kalimat inilah yang benar.
Apabila dibaca "al-ulama-a" maka artinya menjadi "tiada lain
hanya Allahlah yang takut kepada ulama dari sebagian hamba-hamba-Nya".[32]
Kalimat inipun mustahil terjadi karena Allah tidak mungkin takut kepada
hamba-hamba-Nya walaupun ia seorang ulama.
Dari latar belakang itulah, kemudian Abu al-Aswad ad-Du'aly (w. 69 H/ 688 M)
menempatkan titik berwarna merah sebagai syakal. Tanda fathah ditandai
dengan satu titik di atas huruf. Tanda kasrah ditandai dengan satu titik
di bawah huruf. Tanda dammah ditandai dengan satu titik di sebelah kiri
huruf. Tanda tanwin ditandai dengan dua titik pada huruf-huruf tersebut.[33]
Rumus di
atas disempurnakan kemudian oleh Nashr ibn 'Ashim (w. 707 M) dan Yahya ibn
Ya'mur (w. 708 M). keduanya adalah murid ad-Du'aly. Mereka memberi tanda garis
sudut-menyudut di atas atau di bawah huruf untuk membedakan huruf-huruf yang
sama tulisannya tetapi beda cara pengucapannya. Sebagai contoh huruf "ba",
"ta", dan "sa", ketiganya mempunyai tulisan
yang sama. Untuk membedakannya, huruf "ba" diberi satu garis
diagonal di bawahnya " ". Huruf "ta"
diberi dua garis diagonal di atas huruf " ".
Huruf "sa" diberi tiga garis diagonal di atasnya
" ".[34]
Rumus-rumus tanda baca di atas kemudian disempurnakan lagi oleh al-Khalil ibn
Ahmad al-Farahidi (170 H/ 786 M) seorang ahli tatabahasa Arab. Ia berhasil meletakkan
dasar-dasar rumus tanda baca dalam tulisan Arab. Tanda-tanda tersebut yaitu, "alif"
kecil-miring diagonal di atas huruf untuk fathah. "ya" kecil
di bawah huruf untuk kasrah. "waw" kecil di atas huruf
untuk dhammah. Kepala "sin" di atas huruf untuk syiddah
atau tasydid. Kepala 'kha" di atas huruf untuk sukun.
Kepala "ain" di atas atau di bawah huruf hamzah. "alif",
"ya", dan "waw" di belakangh huruf lain untuk mad
atau tanda panjang, dan tanda titik untuk membedakan huruf .[35]
Seiring
dengan berjalannya waktu, tanda-tanda baca di atas berubah menjadi lebih
sederhana. Tanda fathah dan kasrah cukup dengan garis diagonal
pendek. Waw untuk dammah cukup diambil lengkungan bulatnya saja
untuk bagian kepala. Demikian pula tanda-tanda baca lainnya, ia semakin halus
bentuknya.[36]
E. Penutup
Apa yang
penulis kemukakan di makalah ini hanya sebagai pengantar diskusi saja.
Referensi tentang masalah ini juga banyak, hanya penulis belum mengkajinya
secara keseluruhan. Bahkan Prof Dr. M. M. al-A'zami telah membahasnya secara
panjang lebar dalam bukunya "The History of The Qur'anic text from
Revelation to Complain: A Comparative Study with the Old New Testaments yang
diterbitkan oleh GIP menjadi "Sejarah Teks al-Qur'an dari wahyu sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Selamat berdiskusi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar